Jerit Hati Pasien Prematur di RSUD Konawe yang Berujung Kekecewaan

KONAWE – Kisah pilu pelayanan kesehatan kembali menyelimuti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Konawe. Kali ini, sorotan tajam datang dari Restu, seorang warga yang merasa kecewa berat atas buruknya penanganan medis terhadap keponakannya yang tengah hamil 32 minggu.

Kasus ini bukan hanya menambah panjang daftar keluhan masyarakat, namun juga kembali mempertanyakan komitmen RSUD Konawe dalam memberikan pelayanan prima.

Sabtu, 14 Juni 2025, pukul 15.10 WITA, menjadi awal mula drama bagi Nur Aini, ponakan Restu, warga Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe. Dalam kondisi hamil prematur yang memerlukan perhatian serius, ia dilarikan ke RSUD Konawe.

Dokter yang memeriksa menyarankan rawat inap dan observasi, sebuah langkah yang seharusnya membawa harapan. Namun, harapan itu justru perlahan pupus.

Menanti tak pasti, berujung penyesalan
hari berganti, namun tindakan medis tak kunjung datang. Hingga Senin pagi (16/6/2025), saat dokter Adi akhirnya memeriksa Nur Aini, vonis mengejutkan pun tiba, air ketuban hampir habis dan operasi harus segera dilakukan.

Namun, lagi-lagi, penantian berlarut. “Sayangnya tindakan tidak bisa langsung dilakukan karena harus menunggu dokter Noval. Pasien baru diperiksa sore harinya dan saat USG dilakukan, air ketuban sudah habis,” ungkap Restu dengan nada kecewa yang mendalam. Waktu yang berharga terbuang sia-sia, sementara kondisi Nur Aini kian kritis.

Pukulan kedua datang ketika keluarga mengetahui fakta yang lebih menyakitkan, RSUD Konawe tidak memiliki inkubator untuk menangani kelahiran prematur. Tidak ada pilihan lain, rujukan ke RS Bahteramas di Kendari pun menjadi satu-satunya jalan.

Alih-alih mempermudah, proses rujukan justru menjadi babak baru yang penuh kerumitan. Restu menuturkan, butuh waktu hampir dua jam untuk mendapatkan surat rujukan. Yang lebih mengejutkan, surat itu baru diberikan setelah keluarga membayar Rp1,9 juta.

“Kami tidak tahu dasar pungutan itu apa. Setelah membayar baru rujukan keluar, tapi ternyata bukan rujukan emergency ke UGD, melainkan rujukan ke Poli. Ini gila,” tegas Restu, nada suaranya dipenuhi amarah.

Setibanya di RS Bahteramas, kejanggalan semakin terungkap. Klaim perawat RSUD Konawe tentang komunikasi antar rumah sakit ternyata isapan jempol belaka. Pihak Bahteramas tidak menerima laporan atau konfirmasi apa pun, membuat keluarga pasien harus berjuang dari nol di rumah sakit tujuan.

Rentetan kejadian ini memicu desakan keras dari Restu agar DPRD Konawe segera memanggil manajemen RSUD untuk melakukan hering terbuka. Baginya, kasus ini bukanlah insiden tunggal.

“Pergantian Direktur ternyata tidak mengubah pelayanan. Masih sama buruknya seperti sebelumnya. Ini harus jadi perhatian serius,” tegasnya.

Restu juga menuntut kejelasan penggunaan dana Rp1,9 juta yang telah dibayarkan, serta mendesak agar praktik pungutan tak berdasar di rumah sakit pemerintah segera dihentikan.

Kasus yang menimpa Nur Aini ini menambah daftar panjang keluhan terhadap RSUD Konawe, menegaskan urgensi audit menyeluruh terhadap standar operasional pelayanan, komunikasi antar medis, hingga transparansi biaya kesehatan.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak RSUD Konawe terkait kronologi dan dugaan pungutan tersebut. Masyarakat menanti pertanggungjawaban dan perubahan nyata demi pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Penulis : Hasmar

Artikulli paraprakKisah Rujukan Ibu Hamil dan Pelajaran Berharga dari RSUD Konawe
Artikulli tjetërSuara Asli Routa Menggugat, Melawan Hoaks Demi Iklim Investasi Positif PT SCM di Konawe