BPN Konawe Membisu, Sertipikat Tanah Picu Gugatan dan Perpecahan

Foto : Gambar Ilustrasi

Konawe, Sultra – Di tengah hijaunya Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) Konawe, sebuah drama kepemilikan tanah tengah bergulir, memicu ketegangan antara warga, Pemerintah Desa, dan tanda tanya besar terhadap peran Badan Pertanahan Nasional (BPN). Desa Kumapo, Kecamatan Onembute, Kabupaten Konawe, kini menjadi saksi bisu pertarungan hukum dan desakan publik yang menuntut kejelasan atas sertifikat-sertifikat tanah yang misterius, sebagian di antaranya diduga kuat berada di area terlarang.

Gelombang keresahan ini mencapai puncaknya pada musyawarah Desa Kumapo, 28 Januari 2025. Di sana, kabar mengejutkan ttersia, eorang oknum bernama Asnun, konon, telah mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan BPN Kabupaten Konawe, padahal lokasinya berada di dalam kawasan HPK. Sontak, kegelisahan meruyak di kalangan warga Dusun 1 yang memiliki lahan serupa.

“Situasi ini menimbulkan keresahan dan pertanyaan di kalangan warga Kumapo mengenai status kepemilikan lahan mereka yang juga berada di area serupa,” ujar salah satu tokoh masyarakat, mencerminkan kegalauan kolektif.

Musyawarah yang dipimpin Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Kepala Desa Kumapo itu menjadi wadah bagi warga untuk menyuarakan aspirasi. Tiga poin krusial menjadi sorotan, usulan sertifikasi tanah, pokok-pokok pemikiran BPD, serta aspirasi dan prakarsa masyarakat.

Dengan dukungan penuh dari tokoh masyarakat seperti Kusdin dan Basapa, masyarakat Desa Kumapo bersepakat mendesak Kepala Desa untuk segera mengajukan permohonan penerbitan sertifikat tanah kepada BPN, demi kepastian hukum dan mencegah potensi konflik.

Namun, di tengah desakan dan harapan warga, upaya menguak tabir dugaan tumpang tindih lahan ini menemui tembok penghalang. Senin, 16 Juni 2025, awak media yang mencoba mengklarifikasi langsung ke BPN Kabupaten Konawe harus pulang dengan tangan hampa.

Pintu kantor seolah tertutup rapat, pimpinan tidak di tempat karena mengikuti assessment di kementerian, dan pejabat seksi terkait pun tidak ada karena lagi penanganan unjuk rasa.

“Kepala BPN tidak ada, beliau lagi mengikuti assessment di kementerian. Seksi juga tidak ada yang bisa memberikan penjelasan soal itu,” terang seorang petugas keamanan, mengiyakan ketiadaan sosok yang bisa memberikan klarifikasi.

Ketiadaan pimpinan dan pejabat berwenang di momen krusial ini tentu saja menjadi penghalang besar bagi upaya klarifikasi. Publik menanti jawaban mengenai dasar hukum dan prosedur penerbitan SHM di area yang seharusnya berstatus kawasan hutan.

Isu ini sontak menjadi sorotan, memunculkan kekhawatiran serius akan potensi tumpang tindih kewenangan antara BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lebih jauh, dampak serius terhadap kelestarian lingkungan menjadi momok yang menghantui jika dugaan penerbitan sertifikat di kawasan HPK benar adanya.

Ironisnya, di tengah pusaran ini, sebuah langkah hukum justru memicu perpecahan baru di Desa Kumapo. Merujuk pemberitaan Kendari Pos. fajar. co.id, dengan judul “Kepala Desa Kumapo Gugat Warga Sendiri! Enam Sertipikat Tanah Diseret ke PTUN”.

Kepala Desa Hastuti secara resmi menggugat Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Konawe ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kendari pada 15 April 2025, terkait enam bidang tanah bersertifikat milik warga Desa Kumapo.

Objek sengketa tersebut termasuk SHM atas nama Asnun (dua bidang), Satriani (dua bidang), Yorim, dan Anitasari.
Namun, gugatan Kepala Desa ini menuai respons keras dari pihak warga, khususnya dari salah satu pemilik lahan, Asnun, melalui kuasa hukumnya, Sheren Saranani, S.H.

Gugatan tersebut dinilai tidak berdasar dan mencederai kepentingan masyarakat. Sheren menegaskan bahwa dalih gugatan yang menyebut tanah tersebut merupakan kawasan milik desa yang harus dikelola secara kolektif tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

“Semua sertifikat yang dimiliki klien kami diperoleh secara sah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Sheren. Ia juga mempertanyakan mengapa Kepala Desa tidak mempertimbangkan terlebih dahulu penetapan status kawasan hutan di wilayah tersebut sebelum menggugat.

Saat ini, proses hukum tengah berjalan di PTUN Kendari, dengan pihak tergugat telah menyiapkan bukti-bukti pendukung, termasuk bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta hasil plotting dari BPN.

Lebih jauh, Sheren menyinggung adanya dugaan kepentingan pribadi dalam langkah hukum yang diambil Kepala Desa. “Kami tidak menemukan satu pun warga yang merasa dirugikan atas kepemilikan sertifikat oleh klien kami. Maka kami pertanyakan, kepentingan siapa yang sebenarnya dibawa oleh Kepala Desa?” katanya.

Ia bahkan menyebut adanya dugaan penyerobotan lahan yang dilakukan oleh warga atas perintah langsung dari Kepala Desa, dan pihaknya telah melayangkan laporan ke Polda Sulawesi Tenggara. “Kami berharap proses hukum berjalan dan jika terbukti, yang bersangkutan harus menerima sanksi pidananya,” tegasnya.

Sheren menyayangkan langkah hukum yang dianggap berpotensi memecah belah masyarakat desa. “Sebagai Kepala Desa, seharusnya beliau menjadi penengah dan menyelesaikan masalah ini di tingkat desa, bukan justru menggugat warganya dengan mengatasnamakan masyarakat. Ini justru memecah belah,” pungkasnya.

Di tengah keheningan BPN, dan kini perpecahan di tingkat desa, misteri sertifikat di jantung hutan konservasi Konawe terus bergulir, menjadi cerminan kompleksitas masalah agraria di Indonesia. Akankah kebenaran terungkap, dan keadilan ditegakkan bagi seluruh pihak? Publik menanti.

Penulis : Hasmar

Artikulli paraprakDrama di UGD Konawe, Ketika Advokat “Mengamuk” dan Rumah Sakit Bicara Standar Pelayanan
Artikulli tjetërKisah Rujukan Ibu Hamil dan Pelajaran Berharga dari RSUD Konawe