Penulis : Surachman, Dekan Fakultas Teknik ITBKM Muhammadiyah Muna Barat
Rasanya tak ada orang Muna yang tak tahu tanaman jenis Jagung. Yang dalam bahasa lokal Suku Muna disebut “Kahitela”. Bagi orang Muna, Jagung atau Kahitela ini menjadi salah satu menu andalan pengganti beras. Dapat diolah dalam berbagai jenis varian namun umumnya diolah menjadi kapusu (jagung yg diberi sedikit kapur sirih), kampirodo (buah jagung yang langsung direbus), Katumbu gola (jangung yg diparut dan dicampur gula merah menjadi adonan dan dibungkus daun jagung kemudian direbus).
Sebagai orang Muna pastinya saya pernah merasakan jenis-jenis olahan jagung itu. Soal rasa, Maknyus!!!. Biasanya untuk kapusu dan kampirodo lauknya kapinda, jenis olahan ikan yg dimasak hanya dengan menggunakan bumbu racikan berbahan asam, garam dan sedikit kunyit. Atau jika tak ada kapinda, biasanya kanasa atau kaondo, Kanasa jenis olahan ikan yang telah digarami selama berhari hari dan digoreng dengan minyak kelapa asli. Kaondo digarami dan dikeringkan, diolah dengan cara dibakar atau digoreng. Untuk katumbu gola, padanan lauknya biasanya adalah “parendeno manu” atau ayam parende. Jenis menu makanan yg berbahan baku ayam kampung dan diolah dengan rempah rempah sederhana, sedikit irisan jahe, bawang merah, bawang putih, daun serei, daun kedondong.
Varian Kuliner berbahan baku utama jagung ini menjadi salah satu menu andalan orang Muna yang dapat menjadi media silaturahmi antar keluarga atau teman sejawat. Biasanya disetiap musim panen jagung akan ramai oleh yang namanya acara Jagung Muda. Ada ungkapan dari para kawula muda “saatnya panen jagung di kebun nenek”. Artinya makan jagung dimana pun semua dianggap adalah hasil dari kebun nenek. Suatu ungkapan yang “mendekatkan dalam satu rumpun keluarga, membuat guyub”. Dapat dikatakan tanaman jagung ini adalah tanaman pemersatu. Para politisi pun acap kali menggunakan momen panen jagung ini untuk dekat dengan calon konstituennya.
Di Muna jagung biasanya ditanam 2 kali dalam setahun, jika pun 3 kali sifatnya kondisonal tergantung kondisi cuaca. Ada namanya musim bara, jagung ditanam dibulan 10 atau 11, ada juga namanya musim timbu, jagung ditanam dibulan 4. Satu lagi namanya kabara bara, jagung ditanam dibulan 2.
Dalam setiap musim tanam per hektarnya, normalnya membutuhkan 12 liter bibit jagung. Untuk 12 liter ini biasanya menghasilkan 12 ribu bonggol jagung atau setara 1000 liter jika dirupiahkan hasilnya 8 juta ( per liter Rp.8.000). Bayangkan jika 3 kali panen maka dalam setahun bisa mendapatkan 18 juta per hektar. Namun itu jika hanya untuk dijual, tidak untuk dikonsumsi. Faktanya tak semua hasil panen dijual sebagian disisihkan untuk menjadi bahan konsumsi sehari hari yang menjadi “Kapusu”. Atau kambewe sejenis lepet berbahan jagung yang dihaluskan dan dibungkus daun jagung tua kemudian dimasak. Sisa jagung yang lain disimpan disuatu tempat yang namanya “ghahu” atau loteng. Jagung disusun rapi ditempat itu sebagai cadangan logistik jika kemarau panjang melanda.
Jagung atau kahitela ini telah menjadi kearifan lokal masyarakat Muna, hasilnya menjadi sandaran ekonomi para orang tua yang menyekolahkan anaknya. Tak terhitung sudah berapa ribu sarjana di Muna yang ditamatkan dari hasil jagung ini. Selain hasil lain tentunya seperti ubi (mafusau), atau ubi jelar (medawa) dan kacang (rapo rapo). Hasil tanaman jagung (kahitela) ini sudah menjadi sandaran ekonomi utama masyarakat Muna dari generasi ke generasi , dari dekade ke dekade. Sampai era digital ini pun Jagung-Kahitela ini masih memainkan peran pentingnya sebagai lokomotif ekonomi rakyat nun jauh dipelosok desa di Pulau Muna ini.
Tapi apakah Jagung ini diarusutamakan oleh pemerintah dalam kebijakan pembangunan ekonomi pertaniannya? ENTAHLAH!!. Faktanya masyarakat masih mengandalkan kemampuan alamiahnya dalam bertani jagung, masih mengeluhkan minimnya bantuan pupuk dan pendampingan, bagaimana dengan Pasca Panennya?Juga sama setali tiga uang. Hampir tak ada linkage dengan pasar. Jagung masih lah hadir dalam skema pasar tradisonal belum sampai pada skala industri. Boleh dikatakan masyarakat petani jagung saat ini masih mengandalkan ilmu tanam warisan leluhur. Akhirnya hasil tak beranjak naik signifikan bagi perbaikan ekonomi mereka, namun syukurnya masih dapat membuat mereka bertahan dari semakin mahalnya beras dan masih dapat dipakai hasilnya untuk menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan tertinggi.
Padahal di Pulau Muna ini dengan bakat alamiah masyarakatnya dalam bercocok tanam jagung, tak sulit lagi mengembangkan komoditas jagung ini sebagai salah satu komoditi utama. Ibarat “ikan yang tak perlu lagi diajar berenang”. Sudah ada ilmu dasar. Tugas pemerintah tak berat lagi, tinggal political will, political budgeting, ITU SAJA. Rasa rasanya jika itu lahir maka tak sulit menggerakan ekonomi pulau ini. Masyarakat diajak untuk mengembangkan komoditas pertanian yang telah mereka biasakan sejak turun temurun. Tanpa harus ada lagi transfer ilmu atau sampai melakukan studi tiru. Toh masyarakat sudah “notoka weloghunteli” atau sudah jago sejak dalam kandungan untuk urusan tanam jagung ini. Hanya kadang kita masih “latah” suka sekali meniru sekalipun kita sadar kita tak akan pernah sama dengan kemampuan tempat kita meniru. Tapi penyakit “tiru” ini mewabah dan lagi digandrungi sampai sampai kita lupa habitat asli dimana. Habitat air tawar kok dipaksa hidup di air asin. Ya matilah!!. Wallahu A’lam bishowab.