Oleh :Dr. Indrawan Tobarasi, S.Sos.,M.Si
(Pemerhati Kebijakan)
KENDARI, BONDO.ID – Polemik pilkada serentak dan munculnya berbagai potensi konflik politik akibat Pilkada langsung kembali memunculkan wacana di sebagian kalangan masyarakat mengenai alternatif Pilkada Taklangsung, alias Pilkada yang dilakukan oleh Anggota DPRD.
Meski ada anggapan dari beberapa kalangan akademisi maupun politisi bahwa mengembalikan mekanisme pemilihan Kepala Daerah seperti zaman orde baru tersebut (Pilkada lewat DPRD) merupakan sebuah kemunduran (Set Back) dalam berdemokrasi karena dianggap bakal “mengkebiri” kedaulatan rakyat dalam memilih dan menentukan kepala daerahnya sendiri.
Beberapa kalangan dan kelompok yang mendukung Pilkada langsung menilai bahwa Pilkada lewat DPRD justru akan membuka ruang terjadinya praktek KKN (suap-menyuap) yang lebih massif antara calon kepala daerah dengan anggota DPRD sebagai bagian dari lobi untuk memuluskan proses pemilihan.
Selain itu pemilihan kepala daerah melalui DPRD juga dianggap bertentangan dengan semangat dan cita-cita reformasi untuk mengembalikan citra, wibawa dan hak konstitusional rakyat yang direnggut sekian tahun lamanya pada era orde baru. Hak konstitusional tersebut tak lain adalah hak memberikan suara secara bebas dan rahasia, serta berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum.
Konsekuensi dari gerakan reformasi 1998 silam adalah mengembalikan model dan sistem pemilihan Presiden dan kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) dari DPR/DPRD ke tangan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, dimana rakyat diberi kesempatan secara langsung untuk menyeleksi dan memberikan mandat kepada calon kepala daerah yang dianggap kapabel dan kompeten untuk memimpin daerah (Propinsi, kabupaten/kota) selama lima tahun.Pasca reformasi, kualitas demokrasi di Indonesia terus mengalami kematangan dan kedewasaan.
Bahkan beberapa negara skandinavia di eropa dikabarkan pernah melakukan studi banding ke KPU RI hanya untuk mempelajari kesuksesan bangsa ini dalam membangun demokrasinya; Mulai dari keberhasilan KPU RI yang dalam meningkatkan partisipasi pemilih, hingga kemampuan pemerintah dalam mengendalikan dan meminimalisir konflik horizontal yang timbul akibat gesekan politik.
Tentu saja, hal tersebut merupakan sebuah prestasi yang membanggakan bagi bangsa ini setelah kurang lebih 32 tahun mempraktekan Pilkada Tak langsung (Pilkada lewat DPRD) selama kekuasaan rezim orde baru.
Pada saat yang hampir bersamaan, sejumlah kalangan dan kelompok pro Pilkada lewat DPRD berpandangan bahwa salah satu dasar pemikiran mengapa Pilkada sebaiknya dikembalikan melalui mekanisme DPRD adalah pertimbangan efisiensi keuangan negara.
Sebagaimana telah diketahui, anggaran negara yang dialokasikan untuk penyelenggaraan Pilkada langsung cukup besar sehingga membebani anggaran negara. Dan jika dihitung-hitung, Untuk sekali Pelaksanaan Pemilukada langsung baik Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur maupun bupati/ walikota diseluruh indonesia, membutuhkan biaya hingga triliunan rupiah.
Sedangkan pelaksanaan Pemilukada lewat DPRD ditaksir akan lebih efisien sehingga dapat menghemat anggaran negara, dengan begitu pengelolaan keuangan negara bisa lebih efektif dan efisien.
Misalnya saja, dalam pelaksanaan pilkada tidak langsung akan ada beberapa item pembiayaan yang hilang seperti anggaran penyediaan logistik kotak suara, surat suara hingga distribusi, serta anggaran untuk insentif penyelenggara pemilu mulai dari tingkat propinsi hingga KPPS diseluruh indonesia serta efisiensi anggaran Bawaslu.
Dengan begitu, anggaran yang dialokasikan ke KPU dan Bawaslu untuk penyelenggaraan Pilkada langsung dapat digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan program peningkatan kesejahteraan masyarakat lainnya.
Pilkada lewat DPRD juga dinilai dapat mengurangi potensi konflik horizontal dimasyarakat akibat perbedaan pandangan politik masyarakat. Selama masa pelaksanaan Pilkada langsung, tercatat adanya konflik antar pendukung pasangan calon dibeberapa daerah, baik itu terjadi saat kampanye pasangan calon sedang berlangsung maupun setelah pengumuman hasil.
Bahkan tak sedikit dari konflik tersebut berbuntut pada bentrokan fisik. Meski jumlah konfliknya tidak banyak, namun insiden semacam ini tetap saja meresahkan masyarakat dan dapat menyulut konflik horizontal yang lebih luas di kalangan masyarakat.
Tampak dalam setiap ajang Pilkada akan ada saja aparat birokrasi yang ikut ‘bermain’ politik dan mendukung salah satu pasangan calon kepala daerah demi dua hal di atas (mengamankan posisi dan menghindari non job).
Dua pilihan tersebut terus menghantui para aparat birokrasi menjelang pelaksanaan Pilkada hingga pesta demokrasi usai. Jika diamati, ada beberapa perilaku birokrasi yang kerap terjadi pasca Pilkada.
Biasanya kepala daerah terpilih akan melakukan rotasi dan mutasi aparat birokrasi secara besar-besaran sesaat setelah ia resmi menduduki kursi kepala daerah. Ada yang dilantik menduduki jabatan baru dan ada pula yang non job. Itulah wajah birokrasi pemerintah daerah pada umumnya, dan fenomena tersebut merupakan konsekuensi politis dalam pelaksanaan Pilkada langsung.
Dampak positif lain dari pelaksanaan pilkada tidak langsung (lewat DPRD) ini adalah kecenderungan terwujudnya birokrasi yang independen dan netral dari pengaruh politik. Sebab dengan Pilkada lewat DPRD tak ada lagi tekanan untuk mendukung dan memenangkan salah satu pasangan calon kepala daerah.
Aparat birokrasi dapat bernafas lega dan bebas dari intimidasi serta tekanan politik. sebab Tak bisa dipungkiri, pelaksanaan Pilkada langsung selama ini justru telah mencederai wibawa dan independensi serta netralitas sebagian tatanan birokrasi kita.
Bagaimana tidak, disetiap moment Pilkada Para calon petahana (incumbent) atau Kepala Daerah dua periode yang akan habis masa jabatannya akan memberikan shock terapi dan tekanan politik pada seluruh aparat birokrasi agar memenangkan salah satu pasangan calon tertentu.
Akibatnya, sebagian aparat birokrasi pun akan menggadaikan netralitasnya dan ikut terlibat aktif dalam kegiatan politik pemenangan pilkada demi mengamankan posisi dan menghindari sanksi “Non Job”.(*)