Oleh : Surachman (Pegiat Literasi Di Muna Barat)
MUNA BARAT, Zaman ketika kita SD, setiap momen penerimaan raport adalah momen yang ditunggu tunggu. Ditunggu karena saat itu kita dapat mengetahui posisi peringkat dikelas atau apakah kita berhasil naik ke jenjang kelas berikutnya.
Momen itu tak ubahnya momen “lebaran” bagi anak SD. Situasi pasar juga amat ramai, para ibu berjubel dipasar membeli bahan panganan untuk momen penerimaan raport. Kala itu penerimaan raport tak berbeda dengan saat ini ada istilah “makan-makan”.
Makan-makan ini adalah setiap anak membawa bekalnya kesekolah untuk dimakan bersama sebelum raport dibagikan. Dulu biasanya bekal disimpan pada tempat yg dinamakan rantang susun berbahan alumunium atau stainless. Saat itu para orang tua belum mengenal jenis rantang tupperware atau tempat berbahan styrofoam.
Menu makanan yang dibawa biasanya nasi kuning dengan lauk ayam atau telur dengan sedikit tambahan mie goreng dan kerupuk. Jenis menu ini adalah pilihan paling umum. Entah karena apa banyak dipilih tapi mungkin menu nasi kuning adalah menu yang menunjukkan rasa terimakasih dan ucapan syukur atas prestasi yang diraih sang anak.
Warna kuning nasi dihasilkan dari bumbu kunyit yang buahnya ditumbuk dan airnya diambil dan dicampur menjadi satu dengan nasi sehingga berwarna kuning. Dalam tradisi masyarakat Jawa warna Kuning sendiri menggambarkan sebuah harapan dan doa spesial yang sangat luhur, melambangkan kekayaan dan kemakmuran. Membawa nasi kuning berarti simbolisasi rasa syukur dan doa kepada Allah SWT atas momen spesial ini.
Kesakralan penerimaan raport kala itu sungguh terasa. Setiap anak menunggu momen itu dengan penuh harap dan cemas. Apalagi menjelang pembacaan peringkat siswa, rasa deg degan muncul pada setiap siswa. Berharap masuk dalam 5 besar atau 3 besar sesuatu yang amat membanggakan ketika itu. Iklim kompetisi begitu terasa setiap anak didik berlomba masuk dalam jajaran top five.
Dulu rasanya setiap anak dipacu untuk berprestasi secara terbuka, bersaing secara ketat memperebutkan gelar Juara. Kondisi saat itu berbanding terbalik dengan saat ini ketika sistem peringkat sudah tak lagi ditonjolkan. Mungkin saat itu dipengaruhi oleh effek penerapan Kurikulum 1994 yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Sistemnya menerapkan kegiatan belajar yang cenderung selalu di dalam kelas dimana guru mengejar target berupa materi yang harus dikuasai siswa.
Sedangkan di masa sekarang, kurikulum yang digunakan ialah kurikulum 2013. Siswa diminta untuk selalu proaktif dalam mencari sumber informasi belajar dan menggunakan buku tematik, jadi dalam satu buku cetak sudah memuat beragam bidang studi. Pada akhirnya siswa belajar tak lagi fokus pada satu mata studi namun berdasarkan materi tematiknya.
Soal kurikulum CBSA dan Kurikulum 2013 masing masing punya kelebihan dan kekurangan, bagi kita yang bersekolah diera 2000 kebawah metode CBSA ini lah yg paling baik, kita dapat fokus pada setiap pelajaran. Misalnya mate matika atau matpel lain. Sedang pada kurikulum 2013 dengan menggunakan sistem tematik para siswa dapat menemukan pembelajaran terpadu yang melibatkan beberapa pelajaran (bahkan lintas rumpun mata pelajaran) yang diikat dalam tema-tema tertentu.
Diera pandemic seperti saat ini ada lagi kurikulum darurat suatu penyederhanaan atas kurikulum 2013. Menuju era bebas covid 19 ada lagi namanya Kurikulum Merdeka, sebuah kurikulum yang dirancang untuk pemulihan belajar pasca pandemic covid 19.
Situasi kurikulum yang berubah secara dinamis akibat covid 19 dan layanan fasilitas pendidikan yang semakin maju diera digital ini menimbulkan sebuah pertanyaan apakah model belajar seperti saat ini masih cukup relevan bagi penyiapan generasi Indonesia selanjutnya.
Sejak tahun 2020 sampai saat ini generasi pelajar kita telah dilatih untuk menyesuaikan diri dengan situasi pembelajaran jarak jauh. Dimana murid dan guru bertemu dalam ruang virtual. Ada banyak pendapat bahwa generasi 2020 akan menjadi lost generation. Apalagi survei UNICEF menyebutkan bahwa 66% tidak puas terhadap pembelajaran jarak jauh dan ini dapat berkorelasi pada kekhawatiran adanya lost generation tersebut.
Namun disadari atau tidak sesungguhnya masalah utama pendidikan kita sebelum pandemi adalah adanya disparitas kualitas pendidikan. Boleh jadi walaupun ini hanya sebatas hipotesa awal saya memang sesungguhnya ada disparitas atau ketimpangan pendidikan di Indonesia. Jika kita mencermati kursi Universitas bergengsi di Indonesia banyak diisi oleh sekolah sekolah yang berada di Jawa ketimbang sekolah sekolah dari luar jawa.
Untung saja model rekruitmen mahasiswa saat ini sudah banyak pilihan tak lagi hanya melalui jalur UMPTN semata. Jika hanya melalui satu jalur itu rasanya kursi kampus kampus besar di Indonesia akan sulit diakses. Ini bukan karena raw material SDM diluar jawa yang buruk namun faktor pembiasaan terhadap model ujian yang sedari awal sulit diakses oleh para pelajar luar jawa karena ketidak adaan fasilitas atau keterbatasan informasi.
Syukurnya saat ini lembaga lembaga bimbingan belajar sudah mulai menjangkau kawasan luar jawa selain alasan model tes CAT yang menjadi keharusan dalam sistem recruitmen CPNS juga sekolah sekolah kedinasan sudah mulai berbasis sistem seperti itu. Sehingga lembaga bimbingan belajar hadir untuk mewadahi kebutuhan para pelajar.
Ini artinya sekolah baik SD, SMP dan SLTA sudah harus menyiapkan para siswanya memasuki iklim kompetisi yang semakin ketat. Dengan model pembelajaran seperti saat ini rasa rasanya masih sangat sulit untuk mengejar ketertinggalan khususnya bagi sekolah yang berada diluar jawa.
Seyogyanya setiap sekolah menyiapkan model pembelajaran khusus untuk bisa beradaptasi dengan sistem CAT. Sehingga para siswa dapat menyelesaikan soal secara benar dan tepat waktu.
Sistem ujian berbasis digital yang dilatih sejak SD sampai jenjang SMA akan melahirkan mental siswa yang kompetitif dan dapat bersaing dalam situasi apapun.
Jika sekolah tidak membiasakan dengan model tes berbasis digital maka loss generation bisa jadi terjadi tak menunggu adanya pandemic covid 19 dan disparitas pendidikan akan semakin jauh antara barat dan timur. Dan itu menjadi pekerjaan rumah bagi para pendidik. Soal nasi kuning tak akan menjadi PR Besar karena tak butuh teknologi modern dan setiap ibu akan dengan senang hati tetap menyiapkannya disaat masa penerimaan raport. (*)