Konawe Selatan – Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) mengecam keras keputusan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Baito yang menolak menerima kembali seorang siswa yang diduga menjadi korban penganiayaan oleh gurunya. Keputusan ini dianggap mengabaikan hak anak atas pendidikan.
Dalam rapat yang digelar PGRI Baito pada 19 Oktober 2024, para guru sepakat untuk mogok mengajar dan mendesak agar siswa tersebut dikeluarkan dari semua sekolah di Kecamatan Baito.
Sementara itu, sang guru yang menjadi tersangka kasus penganiayaan justru dituntut untuk dibebaskan.
Menanggapi hal tersebut, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Asriani, S.Kep Ns menegaskan ia akan tetap berkomitmen mengawal kasus tersebut.
Kata dia, meskipun proses hukum tetap berjalan, hak-hak anak, terutama korban, harus tetap diprioritaskan.
“Kami tidak ingin mengesampingkan proses hukum yang sedang berjalan, karena itu merupakan wewenang aparat penegak hukum. Namun, fokus kami adalah pemenuhan hak anak, terutama korban. Saat ini, kami tengah menangani dampak psikologis korban dan memastikan keinginannya untuk kembali bersekolah,” ujar Asriani pada Kamis (24/10/2024).
Asriani menambahkan bahwa KPAD juga prihatin atas adanya selebaran yang dikeluarkan oleh PGRI Baito yang menyatakan tidak menerima korban dan saksi anak untuk kembali bersekolah di wilayah Kecamatan Baito.
“Kami sangat menyayangkan pernyataan tersebut. Proses hukum seharusnya tidak menyampingkan hak anak untuk mendapatkan pendidikan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa situasi mogok yang terjadi akibat kasus ini bisa berdampak buruk pada kondusifitas proses belajar mengajar di sekolah.
“Anak-anak kita memiliki hak belajar yang harus tetap dijamin, terlepas dari kasus yang sedang berlangsung. Jangan sampai fokus kita pada kasus ini mengabaikan hak anak lainnya,” jelasnya.
Menurut Asriani, korban masih sangat ingin melanjutkan pendidikannya dan berharap bisa kembali bersekolah di SDN 4 Baito.
“Ketika kami bertemu dengan korban, ia menyatakan keinginan kuat untuk kembali bersekolah dan bermain dengan teman-temannya. Sebagai pemerhati pendidikan, kami harus memfasilitasi keinginan anak ini, jika memang ada jalannya,” tuturnya.
KPAD Konsel berharap agar semua pihak terkait dapat lebih bijak dalam menangani kasus ini dan mengutamakan tugas mereka sebagai pendidik untuk mencerdaskan anak bangsa, tanpa mengabaikan hak-hak anak dalam prosesnya.
Sementara itu, Ibu Korban, Nurfitriana saat dihubungi mengatakan, anaknya saat ini sangat trauma atas apa yang menimpanya.
“Saat ini kondisi anak saya trauma luar biasa, dia heran kenapa dibawa kesana kemari, kenapa banyak orang, mentalnya sekarang sangat terganggu, sampai-sampai takut ketemu orang,” ungkapnya.
Ia berharap, kasus tersebut dapat terselesaikan sehingga anaknya dapat bersekolah kembali. “Anak saya masih tujuh tahun, saya ingin anak saya bersekolah kembali dan bermain seperti sediakala,” singkatnya. (Rls/ADV)