Penulis : La Ode Sawal Abdul Azis, SH
Mantan Wakil Ketua BEM FH UMK 2017-2019
Sebagai kata pembuka anator mengutip pernyataan pakar hukum juga seorang Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponogoro Semarang, Prof. Arief Hidayat bahwa kepastian hukum harus sejalan dengan rasa keadilan. Ungkapan ini menggugah hati anator dalam menggoreskan pena, sebab belakangan ini terlena dengan kebijakan pemerintah mulai dari PSBB sampai dengan PPKM.
Kemudian anator berfikir bagaimana bertahan hidup dan tetap menjaga kewarasan dimasa pendemi Covid-19.
Tak hanya sampai disitu, anator kemudian terkejut dengan penetapan empat (4) orang tersangka secara serempak oleh kejaksaan tinggi provinsi sulawesi tenggara dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi. ke empat orang itu adalah direktur utama PT. Toshida Indonesia, General Maneger PT. Toshida, Plt. Kepala Dinas energi dan sumber daya mineral provinsi sulawesi tenggara dan mantan kepala bidang mineral dan batu bara.
Menarik untuk dinanti, sebab public penasaran dengan hasilnya. Indonesia disepakati para founding father sebagai negara hukum. Hukum menjadi panglima dan keadilan adalah segala-galanya. Konsep trias politika menempatkan yudikatif sebagai penjamin implementasi keadilan hukum bagi rakyat indonesia tanpa pandang kasta. Konsekuensi logisnya yudikatif mesti berdiri independen dan tampil suci agar bisa adil dan bijaksana.
Faktanya kepastian hukum kian hari kian tidak menentu. Terkadang yang berjuang tidak mendapatkan apapun sedangkan yang biasa saja mendapatkan hasil yang lebih. Hidup kadang selucu itu. Kekuatan yang dimiliki mungkinlah tidak sebanding dengan ketidakadilan yang ada, tapi satu hal yang pasti, tuhan tahu bahwa sudah berbagai usaha yang telah dilakukan untuk melawannya. Hukum di negeri ini rasanya terus berjalan layak nya permainan dan sandiwara, yang salah bisa jadi benar, atau pun sebaliknya.
Menilik fakta Penegakan hukum di Indonesia pasca era reformasi kian tidak menentu, keadilan yang digaungkan adalah segala galanya kini menjadi segalau-galaunya, anator berimajinasi bahwa yang bisa mengendalikan keadilan hanya jumlah nominal artinya keadilan sudah menjadi barang sukar karena hukum itu tegak pada yang bayar. Semoga saja hal itu diwariskan kepada generasi-generasi penegak keadilan selanjutnya.
Menjadi suatu ironi bila keadilan yang seharusnya ditegakkan untuk membela yang benar malah dipreteli untuk mendongkel yang benar menjadi salah. Lalu sampai kapan kita bertahan disituasi seperti ini.
Bukankah jika hal ini terus terjadi akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan dalam mencari keadilan. Lalu bagaimana? Anator selalu dibuat untuk berspekulasi bahwa beginilah wujud asli lembaga peradilan di Indonesia yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan kini menjadi tempat layaknya pasar gelap. Menjadi penting untuk mengembalikan kepercayaan publik yang telah hilang kepada lembaga peradilan. Dibutuhkan peradilan yang bersih untuk membenahi proses penegakan hukum di Indonesia.
Harus ada upaya yang dilakukan untuk memperbaiki citra aparatur penegak hukum. Koreksi dan reformasi terhadap seluruh lembaga peradilan. Dan hal yang paling penting adalah membangun integritas dan moralitas dalam diri aparat penegak hukum.
Karena sebaik apapun hukum itu dibuat tetapi jika tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang tidak bermoral dan tidak berintegritas maka semuanya akan sia-sia. Terakhir anator mengutip pendapat seorang filsuf Imanuel Kant.
“Bertindaklah seakan dasar dasar tindakanmu akan menghasilkan sebuah hukum untuk seluruh dunia” (*)