Penulis: La Ato
KENDARI, BONDO.ID – Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama Sulawesi Tenggara (Kemenag Sultra), Zainal Mustamin menyebut, para cendekiawan ada yang mengklasifikasikan ibadah puasa Ramadan ke dalam tiga kategori, yakni puasa badani atau bersifat jasmani, puasa nafsani bersifat psikologis, dan puasa rohani yang bersifat spiritual.
“Sebagaimana anggota tubuh kita memiliki tiga unsur itu. Fisik kita yang secara kasar dan kasat mata dapat kita saksikan terdiri dari organ tubuh yang menjadi penopang utama dari raga atau tubuh kita. Di dalamnya ada psikis atau kejiwaan atau yang disebut dengan nafsani sebagai pembentuk pikiran dan perasaan,” jelas Zainal Mustamin saat acara doa dan zikir bersama yang digelar di Masjid Amal Bhakti, Kanwil Kemenag Sultra, Selasa, 5 April 2022.
Oleh cendekiawan muslim, lanjutnya, sepuluh hari pertama puasa Ramadan lebih ditekankan pada puasa yang bersifat badani. Oleh karena itu, yang dirasakan adalah perasaan yang bersifat fisik dan penyesuaian ragawi.
“Tubuh mengalami penyesuaian, misalnya dari kebiasaan makan pagi dan siang hari berubah menjadi makan di waktu subuh atau saat sahur dan makan di waktu maghrib atau saat berbuka puasa. Itulah yang membutuhkan waktu di sepuluh hari pertama,” jelasnya.
“Sepuluh hari pertama, kita tidak boleh gagal secara fisik,” tambahnya.
Sedangkan sepuluh hari kedua, terangnya, bersifat psikologis atau nafsani. Pada tahap ini kita berusaha mengendalikan diri dari hawa nafsu.
Sementara itu, sepuluh hari ketiga tinjauannya bersifat rohani. Itulah mengapa di sepulah malam ketiga terdapat malam lailatul qadar karena secara fisik kita sudah selesai dengan persoalan puasa dan tidak membicarakan lagi faktor fisik, serta tidak cenderung terpengaruh oleh hawa nafsu yang sudah diselesaikan di sepuluh hari kedua.
“Maka, sepuluh hari ketiga, secara fisik dan kejiwaan kita sudah siap untuk menerima malam lailatul qadar. Oleh karena itu, lailatul qadar tidak perlu kita kurung di malam sepuluh terakhir agar kita mendapatkannya. Persiapkan dari awal, bukan nanti di malam ganjil sepuluh malam terakhir,” jelasnya.
“Kita tidak boleh terjebak dalam hitungan angka, karena itu hanya penuntun untuk menemukan di mana sesungguhnya malam lailatul qadar itu. Kita harus merencanakan dari awal,” sambungnya.